Senin, 15 Maret 2010

Corporate Social Responsibility (CSR)

Pendahuluan

Maraknya peristiwa kerugian yang dialami oleh suatu komunitas masyarakat karena kerusakan lingkungan hidup tempat mereka tinggal akibat beroperasinya suatu perusahaan makin menimbulkan sinisme masyarakat terhadap keberadaan suatu perusahaan. Apakah perusahaan memang didirikan semata-mata hanya untuk mengejar keuntungan, yaitu keuntungan para pemegang sahamnya – dan mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar dan lingkungan hidup di mana perusahaan menjalankan aktifitas bisnisnya? Apa sebenarnya yang menjadi tujuan didirikannya suatu perusahaan?

Dari asal katanya, ‘company’ (perusahaan) berasal dari dua kata dalam bahasa Latin (‘cum’ dan ‘panis’) yang berarti memecahkan roti bersama-sama. Karena itu, ide asli dari pembentukkan suatu perusahaan sebenarnya memiliki konotasi komunal / sosial. Dari asal kata tersebut, menarik menyimak pendapat Dave Packard (co-founder dari Hewlett Packard Company) mengenai tujuan berdirinya suatu perusahaan:

Karena itu, sebenarnya, berdirinya suatu perusahaan tak terlepas dari peran perusahaan tersebut terhadap masyarakat sekitarnya. Seperti dikatakan oleh B. Tamam Achda, memang diakui bahwa di satu sisi sektor industri atau korporasi skala besar telah banyak memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional tetapi di sisi lain, eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh industri telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah. Hal inilah yang menjadikan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) relevan dan penting (perlu) dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan. Tulisan di bawah ini hendak membahas mengenai definisi dan sejarah dari konsep CSR ; bagaimana pengaturan konsep ini di beberapa negara lain; pengaturan di Indonesia serta kendala-kendala dalam pelaksanaannya.


Definisi

Ada banyak definisi yang diberikan untuk konsep CSR. Dari kata-kata ‘corporate’, ‘social’ dan ‘responsibility’ yang terkandung dalam istilah ini maka CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut berdiri atau menjalankan usahanya.

Kamus online Wikipedia mendefinisikan CSR sebagai suatu konsep bahwa suatu organisasi (khususnya, tapi tidak terbatas pada, perusahaan) memiliki kewajiban untuk memperhatikan kepentingan pelanggan, karyawan, pemegang saham, komunitas dan pertimbanganpertimbangan ekologis dalam segala aspek dari usahanya. Sedangkan Schermerhorn secara singkat mendefinisikannya sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk bertindak dalam cara-cara yang sesuai dengan kepentingan perusahaan tersebut dan kepentingan masyarakat secara luas.

The International Organization of Employers (IOE) mendefinisikan CSR sebagai "initiatives by

companies voluntarily integrating social and environmental concerns in their business

operations and in their interaction with their stakeholders."

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, CSR merupakan tindakan perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang-undangan Negara. Kedua, definisi tersebut memandang CSR sebagai aspek inti dari aktifitas bisnis di suatu perusahaan dan melihatnya sebagai suatu alat untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan.9

Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya.10 Dari definisi ini kita melihat pentingnya ‘sustainability’ (berkesinambungan / berkelanjutan), yaitu dilakukan secara terusmenerus

untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan sekali-sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).

Konsep CSR dengan demikian memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok – kelompok lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people, planet).


Sejarah

Istilah CSR memang baru digunakan secara luas pada tahun 1960-an namun hakikat CSR mungkin adalah sama tuanya dengan bisnis itu sendiri, dan bahkan di beberapa masyarakat tertentu, seseorang tidak dapat melakukan bisnis tanpa bertanggung jawab secara sosial.

Ada banyak ulasan mengenai sejarah CSR, antara lain adalah oleh J.J. Asongu yang membagi periode sejarah keberadaan konsep CSR menjadi 2 bagian, yaitu sebelum tahun 1900 dan sesudah tahun 1900. Pada periode sebelum tahun 1900, J.J Asongu menelusuri sampai pada sekitar tahun 1700 SM pada masa pemerintahan Raja Hammurabbi di Kerajaan Mesopotamia kuno yang diketahui telah mengeluarkan sebuah peraturan yang memberikan ancaman hukuman mati terhadap para pembangun, pengurus penginapan dan petani apabila karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain, atau menyebabkan ketidaknyamanan yang sangat mengganggu bagi pihak lain. Sejarah juga mencatat bagaimana pada tahun 1622 para pemegang saham dari Dutch East India Company mengeluarkan pamflet-pamflet yangberisikan keluhan mereka atas sikap pihak manajemen yang tidak transparan dan malah memperkaya diri sendiri. Setelah tahun 1900, khususnya pada awal tahun 1920-an, menurut J.J. Asongu, diskusi-diskusi mengenai tanggung jawab sosial dari suatu organisasi bisnis telah berkembang ke tahap gerakan CSR ‘modern’. Tim Barnett15 menguraikan sejarah hadirnya konsep CSR dengan merujuk pada masa ketika Adam Smith memberikan pandangannya mengenai pentingnya interaksi yang bebas antara para pihak yang melakukan bisnis. Pandangan ini masih menjadi dasar dari ekonomi pasar bebas hingga sekitar 200 tahun yang lalu. Namun bagaimana pun juga, bahkan Smith melihat bahwa pasar bebas tidak selalu berjalan dengan baik dan bahwa para pelaku pasar bebas harus berlaku jujur dan adil terhadap satu dengan yang lainnya apabila kondisi atau tujuan ideal dari pasar bebas hendak dicapai. Satu abad setelah masa Adam Smith, Revolusi Industri memberikan kontribusi besar dalam terjadinya suatu perubahan yang radikal, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Banyak yang menganut paham ‘social Darwinism’ , yaitu pemahaman bahwa seleksi alam dan ‘survival of the fittest’ adalah berlaku juga untuk dunia bisnis. Akibatnya, diberlakukanlah strategi kompetisi bisnis yang brutal dan tidak peduli terhadap karyawan, komunitas dan masyarakat luas. Meski ada pengusaha-pengusaha yang memberikan banyak sumbangan, namun itu adalah sebagai pribadi dan bukan atas nama perusahaan. Perusahaan-perusahaan saat itu malah mempraktekkan suatu metode yang sangat eksploitatif terhadap para pekerjanya.

Sekitar permulaan abad ke-20, reaksi keras terhadap perusahaan-perusahaan besar mulai mendapatkan momentumnya. Usaha-usaha besar dikritik terlalu berkuasa dan telah mempraktikkan bisnis yang antisosial dan anti persaingan. Maka muncullah peraturan seperti Sherman Antitrust Act yang bertujuan mengontrol perusahan-perusahaan besar dan melindungi pekerja, konsumen, dan masyarakat luas. Juga semakin banyak yang menyuarakan dan meminta kepedulian yang lebih besar terhadap kelas pekerja dan orang miskin. Gerakan buruh juga meminta pelaku bisnis untuk memiliki kepedulian sosial yang lebih besar. Antara tahun 1900 dan 1960 dunia bisnis secara perlahan-lahan mulai menerima tanggung jawab tambahan selain semata-mata mendapatkan laba dan menaati hukum.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan hak-hak masyarakat dan para aktivis lingkungan mempengaruhi harapan-harapan masyarakat dari dunia bisnis. Berdasarkan asumsi umum bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang besar juga memiliki tanggung jawab yang besar, maka banyak yang menyuarakan agar dunia bisnis menjadi lebih proaktif dalam menghentikan aktifitas-aktifitas yang mengakibatkan terjadinya masalah sosial dan mulai berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Wacana mengenai konsep ini terus berkembang sampai KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio menegaskan konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan) yang tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara, namun terlebih lagi perusahaan yang kekuasaannya makin menggurita. Hasil KTT Bumi di atas makin dipertegas melalui riset yang dilakukan oleh James Colins dan Jerry Porras, ditunjukan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan lama bukanlah perusahaan yang hanya mengejar profit semata. Selanjutnya, pertemuan di Johannesburg pada tahun 2002 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengikuti dua konsep yang telah muncul sebelumnya yaitu economic dan environmental sustainability yang kemudian menjadi dasar bagi perusahaan di atas dalam melakukan tanggung jawab sosialnya (CSR).

Terakhir pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, pada UN Global Compact yang dibuka oleh SekJen PBB, pertemuan tersebut meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Hingga saat ini, konsep corporate social responsibility telah menjadi paham yang diterima secara umum untuk diterapkan oleh dunia usaha.


Pengaturan tentang CSR di Negara-Negara Lain

Sebagaimana diuraikan mengenai definisi CSR di atas, konsep CSR merupakan ‘inisiatif’ perusahaan dan merupakan tindakan sukarela. Hal tersebut melahirkan dua pandangan mengenai perlu atau tidaknya regulasi mengenai CSR menjadi suatu kewajiban hukum. Ada pandangan yang mengatakan bahwa apabila diatur sebagai kewajiban hukum maka itu adalah tidak sesuai dengan semangat CSR itu sendiri yang sebenarnya merupakan aktifitas sukarela dari perusahaan untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Menurut Andi Syafrani, regulasi CSR dalam ‘hard law’ (yaitu dalam UU PT No. 40 tahun 2007 dalam hukum Indonesia) dapat dikatakan sebagai suatu langkah kemunduran di tengah tren hukum bisnis global yang menuju pada arah deregulasi dan lebih memberikan ruang pada upaya ‘self regulation‘ melaluiperangkat ‘soft law ’. Andi Syafrani juga menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya preseden regulasi CSR di Negara manapun di dunia. Di sisi lain, tidak sedikit pihak-pihak yang mendukung, bahkan mendorong diaturnya CSR menjadi kewajiban hukum perusahaan. Misalnya Friends of the Earth Europe melalui Direkturnya, Fouad Hamdan mewakili kalangan NGO menyatakan kepada Komisi Uni Eropa bahwa “Voluntary measures will not address most of social and environmental problems related to companies’ operations. We need clear rules and regulations on CSR.” Juga dikatakan bahwa “voluntary initiatives can be successful in some cases but regulatory measures are necessary to ensure all corporations abide in national and international rules…”. Secara umum, kalangan NGO mendesak adanya pengaturan yang mengikat perusahaan secara hokum untuk melakukan CSR. 22 Dari kalangan di dalam negeri pun tidak sedikit yang mendukung diaturnya CSR menjadi kewajiban hukum perusahaan. Tidak ditemukannya preseden regulasi CSR di Negara manapun di dunia seperti dikemukakan Andi Syafrani di atas tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada pengaturan mengenai hal tersebut. Maksudnya adalah bahwa tidak ada istilah CSR tersebut yang secara eksplisit diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan di Negara lain. Yang ada adalah seperti yang diatur dalam Sarbanes Oxley Act of 2002 di Amerika Serikat yang mengatur kewajiban direktur dalam membuat laporan keuangan dan performa perusahaan sebagai jalan untuk meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan. Begitu juga di Inggris dalam Companies Act terbaru versi 2007 yang memperbanyak dan meningkatkan kewajiban direktur untuk mencakup pembuatan laporan yang berisi analisis keuangan yang menggunakan financial key performance indicators (Section 172(6)) dan laporan yang berisi informasi terkait dengan lingkungan dan para pekerja. Perancis. mempunyai “The New Economic Regulation Law of 2001” yang mewajibkan perusahaan untuk selalu memberikan informasi mengenai aktifitas perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan dan bagaimana perusahaan mempertimbangkan aspek sosial dalam aktifitasnya ke dalam laporan tahunan perusahaan dan semuanya diwajibkan untuk selalu bersifat transparan. Selain itu yang dilakukan oleh negaranegara maju adalah mengembangkan sistem insentif yang mendorong perusahaan melakukan investasi sosial sebagai bagian dari ‘welfare mix’ (kesejahteraan sebagai tanggung jawab bersama). Misalnya di Amerika, pemerintah memberikan pemotongan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang menyumbang pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Jadi yang diatur bukanlah kewajiban untuk melakukan CSR secara langsung, melainkan kewajiban membuat laporan mengenai kegiatan-kegiatan perusahaan. Dengan perkataan lain, yang diatur adalah apa laporan atas apa yang telah dilakukan oleh perusahaan dan bukannya mengatur apa yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hal ini bisa jadi karena tingkat komitmen dan kesadaran perusahaan dalam melakukan CSR sudah tinggi. Kesadaran masyarakat akan hak-hak dan partisipasinya pun juga sudah lebih baik dari Negara kita. Ketut Ali Sukadana, mengutip Yanuar Nugroho (peneliti dan staf pengajar di Manchester, Inggris), mengatakan bahwa di Eropa, jika ada perusahaan yang mencemari atau merusak lingkungan, misalnya, nama perusahaan akan diumumkan kepada publik dan masyarakat diajak memboikot produksinya.

Namun seperti yang dikatakan oleh Juniati Gunawan bahwa sebenarnya secara implisit dapat dipastikan bahwa tiap negara di seluruh dunia sudah mempunyai regulasi yang mengarah pada praktek CSR, seminim apapun bentuknya. Sebagai contoh, peraturan mengenai tenaga kerja (misal upah, hak dan kewajiban pegawai) atau lingkungan hidup.27 Jadi meski tidak disebutkan secara eksplisit mengenai kewajiban melakukan CSR, namun ada pengaturan mengenai kewajiban-kewajiban perusahaan untuk bertanggung jawab dalam bidang-bidang lain di luar tanggung jawab terhadap para pemiliknya.

Dalam tingkat internasional, lembaga-lembaga seperti OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) , ILO (International Labour Organization) dan PBB pun berusaha menciptakan kerangka untuk mengatur tentang CSR. Pengaturan dari ketiga lembaga tersebutberupa ‘guidelines’ / pedoman yang kekuatan mengikatnya adalah sukarela dengan demikian tidak mengikat secara hukum / hanya berupa soft law. 28 Cukup banyak pihak yang menjadi anggota (baik Negara maupun NGO dan perusahaan – perusahaan multi nasional / MNCs) dari ketiga deklarasi di atas, namun sekali lagi kepatuhan atasnya bersifat sukarela sehingga tidak

dapat dipaksakan keberlakuannya dan tidak ada akibat hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Selain itu, International Organization of Standardization (ISO) sedang menyusun panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on Social Responsibility yang diperkirakan akan diberlakukan mulai tahun 2009. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik maupun badan privat baik di Negara berkembang maupun negara maju.29 Ini pun bukan termasuk perangkat hukum, melainkan pedoman saja yang keberlakuannya bergantung pada komitmen masing-masing institusi.


Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia

1. Pra –UU No. 40 Tahun 2007. Sebelum diatur secara eksplisit dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (dan sebelumnya dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal), konsep CSR sebenarnya telah diatur dalam beberapa Undang-undang di Indonesia. Mengingat definisi dan cakupan CSR yang luas, yaitu termasuk bidang lingkungan, konsumen, ketenagakerjaan dan lain-lain, maka di bawah ini diuraikan tentang beberapa Undang-undang yang di dalamnya secara tidak langsung mengatur tentang konsep CSR.

a. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 6 (1): Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.

Pasal 6 (2): Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 16(1): Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 17(1): Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukanpengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

b. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya.

Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan:

menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha Pasal 7 Mengatur tentang kewajiban pelaku usaha

BAB IV (Pasal 8 - 17)

Mengatur tentang Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha

BAB V (Pasal 18 )

Mengatur tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku

BAB VI (Pasal 19 – 28)

Mengatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha


c. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang ini antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya (pasal 4). Selain diatur dalam UU yang mengatur berbagai aspek tersebut di atas, konsep CSR juga telah diatur dan diwajibkan dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:

Pasal 15

Setiap penanam modal berkewajiban:

a. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

b. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal;

c. Penjelasan pasal 15 Huruf b

Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Pasal 16

Setiap penanam modal bertanggung jawab:

a. menjaga kelestarian lingkungan hidup;

b. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; …

Pasal 34

(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha

c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau

d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pengaturan-pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab perusahaan telah ditambah, bukan lagi hanya kepada pemilik modal semata, melainkan juga kepada lingkungan hidup, karyawan dan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar.

Telah adanya pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan sebagaimana tersebar dalam berbagai undang-undang di atas menyebabkan banyak pihak yang berpendapat bahwa tidak perlu diatur lagi mengenai kewajiban melakukan CSR secara khusus dalam UU korporasi. Yang harus dilakukan adalah memastikan pelaksanaan dari pengaturan dalam undang-undang tersebut di atas. Namun hal tersebut tidak menyurutkan pihak legislatif dan eksekutif yang memiliki pertimbangan tersendiri dan akhirnya mengesahkan pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam UU PT yang baru, yaitu UU No. 40 Tahun 2007 sebagaimana akan dibahas di bawah berikut ini.

2. UU NO. 40 Tahun 2007

Latar Belakang. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas yang diajukan Pemerintah pada awalnya tidak mengandung pasal mengenai kewajiban perusahaan dalam aspek sosial dan lingkungan.30 Desakan itu ternyata muncul dalam diskusi RUU di DPR karena parahnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industry pertambangan, baik di Papua maupun di daerah lain, juga karena peristiwa bencana lingkungan yang disebabkan oleh Lapindo Brantas. Menurut Ratnawati Prasodjo, salah satu pihak yang terlibat dalam pembuatan RUU PT, pembahasan mengenai pasal tersebutberlangsung sangat seru karena adanya pro dan kontra mengenai perlu tidaknya CSR menjadi kewajiban hukum yang diatur dalam Undang-undang, sehingga akhirnya terjadi kompromi antara Pemerintah dengan DPR.31 Rencana diaturnya mengenai hal ini sempatmenimbulkan reaksi yang keras di kalangan pengusaha mengingat sewaktu dilakukannya acara dengar pendapat mengenai RUU ini dengan kalangan pengusaha, pengaturan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan / TJSL (demikian istilah yang digunakan dalam UU ini merujuk pada ‘CSR’ – untuk selanjutnya akan digunakan istilah TJSLmengikuti istilah dalam UU Perseroan Terbatas) ini tidak ada dalam rencana. Kalangan pengusaha spontan menolak rencana dimasukkannya hal ini menjadi ketentuan yang diatur secara hukum karena menurut pendapat mereka CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan memberikan beban baru kepada dunia usaha. Sedangkan Ketua Panitia Khusus UU PT, Akil Mochtar menjelaskan bahwa kewajiban CSR terpaksa dilakukan karena banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia melepaskan diri dari tanggung jawabnya menjaga lingkungan di Indonesia.

Keberatan kalangan pengusaha juga karena mendengar rencana bahwa Pemerintah akan menetapkan besaran persentase yang harus dianggarkan oleh perusahaan yang harus disisihkan dari laba bersih untuk kegiatan tersebut. Dikhawatirkan perusahaan-perusahaan kecil yang belum sanggup untuk mengalokasikan dana untuk itu menjadi terbebani mengingat besaran pajak yang juga tidak kecil. Belakangan keberatan tersebut melunak setelah akhirnya perusahaan yang wajib melakukan TJSL tersebut dibatasi menjadi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja. Juga bahwa anggaran yang harus dikeluarkan tersebut diperhitungkan sebagai biaya sehingga mengurangi pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah tanpa menentukan besaran persentasenya, tapi diatur agar sesuai dengan kepatutan dan kewajaran yang interpretasinya kembali ke pemahaman masing-masing selama belum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akhirnya Undang-undang tersebut diundangkan secara resmi pada tanggal 16 Agustus 2007.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar